Kode
Etik Profesi Guru
Isi rumusan "KODE ETIK GURU
INDONESIA" adalah sebagai berikut:
a. Guru
berbakti membimbing peserta didik untuk
membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
1). Guru
menghormati hak individu, Agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari
anak didiknya masing-masing.
2). Guru
menghormati dan membimbing kepribadian anak didiknya.
3). Guru
menyadari bahwa Intelegensi, Moral dan jasmani adalah tujuan utama pendidikan.
4). Guru
melatih anak didik memecahkan masalah-masalah dan membina daya kreasinya agar
dapat menunjang masyarakat yang sedang membangun.
5). Guru
membantu sekolah di dalam usaha menanamkan pengetahuan katerampilan kepada anak
didik.
6). Guru
memiliki kejuruan profesional dalam menerapkan Kurikulum sesuai dengan
kebutuhan anak didik masing-masing.
7). Menghargai
dan memperhatikan perbedaan dan kebutuhan anak didik masing-masing.
8). Guru
hendaknya fleksibel di dalam menarapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak
didiknya masing-masing.
9). Guru memberi pelajaran di
dalam dan luar sekolah berdasarkan kurikulum dan berlaku secara baik tanpa
membeda-bedakan jenis dan posisi sosial orang tua muridnya.
b. Guru
mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi, tentang anak didik
tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk yang bersifat penyalahgunaan.
1). Komunikasi guru dan anak didik di dalam dan luar sekolah
dilandaskan pada rasa kasih sayang.
2). Untuk berhasilnya pendidikan, guru harus mengetahui kepribadian
anak dan latar belakang orang tuanya.
3). Komunikasi hanya diadakan
semata-mata untuk kepentingan pendidikan anak-anak didik.
c. Guru
menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua
murid yang sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik.
1). Guru
menciptakan suasana kehidupan sekolah sehingga anak didik betah berada dan
belajar di sekolah.
2). Guru
menciptakan hubungan baik dengan orang tua sehingga dapat terjalin pertukaran
informasi timbal balik untuk kepentingan anak didik.
3). Guru
senantiasa menerima dengan lapang dada satiap kritik membangun yang disampaikan
orang tua murid/masyarakat terhadap kehidupan sekolahnya.
4). Guru
turut bersama-sama masyarakat sekitarnya di dalam berbagai aktivitas,
5). Guru mengusahakan
terciptanya kerjasama yang sebaik-baiknya antara sekolah, orang tua murid, dan
masyarakat bagi kesempatan, usaha pendidikan atas dasar kesadaran bahwa
pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, orang tua murid
dan masyarakat.
d. Guru
memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun
masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan
1). Guru
memperluas pengetahuan masyarakat mengenai profesi keguruan.
2). Guru
menyebarkan dan turut merumuskan program pendidikan kepada dan dengan masyarakat
sekitarnya, sehingga sekolah tersebut berfungsi sebagai pusat pembinaan dan
pengembangan kebudayaan di tempat itu.
3). Guru harus berperan agar
dirinya dan sekolahnya dapat berfungsi sebagai pembaharu bagi kehidupan dan
kemajuan daerahnya.
e. Guru
secara sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan
meningkatkan mutu profesinya.
1). Guru
melanjutkan studinya dengan:
a). Membaca
buku-buku.
b). Mengikuti
workshop/seminar, konferensi dan pertemuan-pertemuan pendidikan dan keilmuan lainnya.
c). Mengikuti
penataran.
d). Mengadakan
kegiatan-kegiatan penelitian.
2). Guru selalu berbicara,
bersikap dan bertindak sesuai dengan martabat profesinya.
f. Guru
menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru baik berdasarkan
lingkungan kerja maupun di dalam hubungan keseluruhan.
1). Guru
senantiasa saling bertukar informasi, pendapat, saling menasehati dan membentuk
satu sama lain, baik dalam hubungan pribadi maupun dalam penunaian tugas
profesi.
2). Guru tidak melaksanakan
tindakan-tindakan yang marugikan nama baik rekan-rekan seprofesinya dan
menunjang martabat guru, baik secara pribadi maupun secara keseluruhan.
g. Guru
secara bersama-sama memelihara, membina dan meningkatkan organisasi guru
profesional sebagai sarana pengabdiannya.
1). Guru menjadi anggota dan membantu organisasi guru yang bermaksud
membina profesi dan pendidikan pada umumnya.
2). Guru senantiasa berusaha menciptakan persatuan di antara sesama
pengabdi pendidikan.
3). Guru senantiasa berusaha membantu menyebarkan kebijaksanaan dan
program pemerintah dalam bidang pendidikan kepada orang tua murid dan
masyarakat sekitarnya.
4). Guru barusaha manunjang
terciptanya kepemimpinan pendidikan di lingkungan atau di daerahnya
sebaik-baiknya individu maupun untuk kalompok.
KODE ETIK GURU INDONESIA DAN
DEWAN KEHORMATAN GURU INDONESIA
A. KODE ETIK GURU INDONESIA
1. Pengertian
Lahirnya
Undang-Undang RI No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan tonggak
yang bersejarah dalam proses perkembangan guru di Indonesia, sebab
undang-undang telah memberikan pengakuan formal kepada guru Indonesia sebagai
jabatan profesional.
Sebagai
guru profesional, guru dalam bekerja dan melaksanakan tugasnya berdasarkan kode
etik yang disusun dan dikembangkan oleh organisasi profesinya, dalam hal ini
PGRI. Hal ini sejalan dengan BAB IV pasal 43 ayat 1 Undang-Undang RI No. 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyatakan bahwa untuk menjaga dan
meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas
keprofesiannya, organisasi profesi guru membentuk kode etik.
Dalam
rangka menegakkan Kode Etik Guru Indonesia, pembentukan Dewan Kehormatan Guru
Indonesia oleh PGRI adalah merupakan suatu keharusan. Sehingga dengan demikian
dalam pelaksanaannya Kode Etik Guru Indonesia dapat berfungsi sebagai pedoman
sikap dan perilaku yang bertujuan menempatkan guru sebagai profesi terhormat,
mulia dan bermartabat yang dilindungi Undang-Undang.
Menurut Ditjen PMPTK dan PB PGRI (2008) mengemukakan bahwa:
a.
Kode Etik Guru Indonesia adalah
norma dan azas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia
sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai
pendidik, anggota masyarakat dan warga negara.
b.
Pedoman sikap dan perilaku
sebagaimana yang dimaksud diatas adalah nilai-nilai moral yang membedakan
perilaku guru yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan
selama melaksanakan tugas-tugas profesinya untuk mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik, serta
pergaulan sehari-hari didalam dan diluar sekolah.
2. Tujuan
Kode Etik Guru Indonesia
merupakan pedoman sikap dan perilaku bertujuan menempatkan guru sebagai profesi
terhormat, mulia dan bermartabat yang dilindungi undang-undang.
3. Fungsi
Kode
Etik Guru Indonesia berfungsi sebagai seperangkat prinsip dan norma moral yang
melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesinal guru dalam hubungannya
dengan peserta didik, orang tua/wali siswa, sekolah dan rekan seprofesi,
organisasi profesi dan pemerintah sesuai dengan nilai-nilai agama, pendidikan,
sosial, etika dan kemanusiaan.
4. Sumpah/Janji Guru Indonesia
a.
Setiap guru mengucapkan
sumpah/janji guru Indonesia sebagai wujud pemahaman, penerimaan, penghormatan
dan kesediaan untuk mematuhi nilai-nilai moral termuat di dalam Kode Etik Guru
Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berprilaku, baik di sekolah maupun di
lingkungan masyarakat.
b.
Sumpah/janji guru Indonesia
diucapkan di hadapan pengurus organisasi profesi guru dan pejabat yang
berwenang di wilayah kerja masing-masing.
c.
Setiap pengambilan sumpah/janji
guru Indonesia
dihadiri oleh penyelenggara satuan pendidikan.
5.
Nilai-nilai Dasar dan Nilai-nilai
Operasional
Kode Etik Guru Indonesia bersumber dari:
a.
Nilai-nilai
agama dan Pancasila.
b.
Nilai-nilai
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional.
c.
Nilai-nilai
jatidiri, harkat, dan martabat manusia yang meliputi perkembangan kesehatan
jasmaniah, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual.
6. Hubungan Guru
dengan Peserta Didik
a.
Guru berperilaku secara
profesional dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
b.
Guru membimbing peserta didik
untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan hak-hak dan kewajibannya sebagai
individu, warga sekolah, dan anggota masyarakat.
c.
Guru mengakui bahwa setiap peserta
didik memiliki karakteristik secara individual dan masing-masingnya berhak atas
layanan pembelajaran.
d.
Guru menghimpun informasi tentang
peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses kependidikan.
e.
Guru secara perseorangan atau
bersama-sama secara terus-menerus harus berusaha menciptakan, memelihara, dan
mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan sebagai lingkungan belajar yang
efektif dan efisien bagi peserta didik.
f.
Guru menjalin hubungan dengan
peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari
tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan.
g.
Guru berusaha secara manusiawi
untuk mencegah setiap gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangan negatif
bagi peserta didik.
h.
Guru secara langsung mencurahkan
usaha-usaha profesionalnya untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan
keseluruhan kepribadiannya, termasuk kemampuannya untuk berkarya.
i.
Guru menjunjung tinggi harga diri,
integritas, dan tidak sekali-kali merendahkan martabat peserta didiknya.
j.
Guru bertindak dan memandang semua
tindakan peserta didiknya secara adil.
k.
Guru berperilaku taat asas kepada
hukum dan menjunjung tinggi kebutuhan dan hak-hak peserta didiknya.
l.
Guru terpanggil hati nurani dan
moralnya untuk secara tekun dan penuh perhatian bagi pertumbuhan dan
perkembangan peserta didiknya.
m.
Guru membuat usaha-usaha yang
rasional untuk melindungi peserta didiknya dari kondisi-kondisi yang menghambat
proses belajar, menimbulkan gangguan kesehatan, dan keamanan.
n.
Guru tidak boleh membuka rahasia
pribadi peserta didiknya untuk alasan-alasan yang tidak ada kaitannya dengan
kepentingan pendidikan, hukum, kesehatan, dan kemanusiaan.
o.
Guru tidak boleh menggunakan hubungan
dan tindakan profesionalnya kepada peserta didik dengan cara-cara yang
melanggar norma sosial, kebudayaan, moral, dan agama.
p.
Guru tidak boleh menggunakan
hubungan dan tindakan profesional dengan peserta didiknya untuk memperoleh
keuntungan-keuntungan pribadi.
7. Hubungan Guru dengan Orangtua/Wali Siswa
a. Guru berusaha membina hubungan kerjasama
yang efektif dan efisien denga orangtua/wali siswa dalam melaksanakan proses
pendidikan.
b. Guru memberikan informasi kepada
orangtua/wali secara jujur dan objektif mengenai perkembangan peserta didik.
c. Guru merahasiakan informasi setiap peserta
didik kepada orang lain yang bukan orangtua/walinya.
d. Guru memotivasi orangtua/wali siswa untuk
beradaptasi dan berpartisipasi dalam memajukan dan meningkatkan kualitas
pendidikan.
e. Guru berkomunikasi secara baik dengan
orangtua/wali siswa mengenai kondisi dan kemajuan peserta didik dan proses
kependidikan pada umumnya.
f. Guru menjunjung tinggi hak orangtua/wali
siswa untuk berkonsultasi dengannya berkaitan dengan kesejahteraan, kemajuan,
dan cita-cita anak atau anak-anak akan pendidikan.
g.
Guru
tidak boleh melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan orangtua/wali
siswa untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.
8. Hubungan Guru dengan Masyarakat
a.
Guru menjalin komunikasi dan kerjasama
yang harmonis, efektif, dan efisien dengan masyarakat untuk memajukan dan
mengembangkan pendidikan.
b.
Guru mengakomodasikan aspirasi
masyarakat dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan dan
pembelajaran.
c.
Guru peka terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi dalam masyarakat.
d.
Guru bekerja sama secara arif
dengan masyarakat untuk meningkatkan prestise dan martabat profesinya.
e.
Guru melakukan semua usaha untuk
secara bersama-sama dengan masyarakat berperan aktif dalam pendidikan dan
meningkatkan kesejahteraan peserta didiknya.
f.
Guru mememberikan pandangan
profesional, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, hukum, moral, dan kemanusiaan
dalam berhubungan dengan masyarakat.
g.
Guru
tidak boleh membocorkan rahasia sejawat dan peserta didiknya kepada masyarakat.
h.
Guru
tidak boleh menampilkan diri secara ekslusif dalam kehidupan bermasyarakat.
9.
Hubungan Guru dengan Sekolah dan Rekan
Sejawat
a.
Guru memelihara dan meningkatkan
kinerja, prestasi, dan reputasi sekolah.
b.
Guru memotivasi diri dan rekan
sejawat secara aktif dan kreatif dalam melaksanakan proses pendidikan.
c.
Guru
menciptakan suasana sekolah yang kondusif.
d.
Guru
menciptakan suasana kekeluargaan di didalam dan luar sekolah.
e.
Guru menghormati rekan sejawat.
f.
Guru
saling membimbing antarsesama rekan sejawat.
g.
Guru
menjunjung tinggi martabat profesionalisme dan hubungan kesejawatan dengan
standar dan kearifan profesional.
h.
Guru
dengan berbagai cara harus membantu rekan-rekan juniornya untuk tumbuh secara
profesional dan memilih jenis pelatihan yang relevan dengan tuntutan
profesionalitasnya.
i.
Guru
menerima otoritas kolega seniornya untuk mengekspresikan pendapat-pendapat
profesional berkaitan dengan tugas-tugas pendidikan
dan pembelajaran.
j.
Guru
membasiskan-diri pada nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan dalam setiap
tindakan profesional dengan sejawat.
k.
Guru
memiliki beban moral untuk bersama-sama dengan sejawat meningkatkan keefektifan
pribadi sebagai guru dalam menjalankan tugas-tugas profesional pendidikan dan
pembelajaran.
l.
Guru
mengoreksi tindakan-tindakan sejawat yang menyimpang dan kaidah-kaidah agama,
moral, kemanusiaan, dan martabat profesionalnya.
m.
Guru
tidak boleh mengeluarkan pernyataan-pernyataan keliru berkaitan dengan
kualifikasi dan kompetensi sejawat atau calon sejawat.
n.
Guru
tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan
martabat pribadi dan profesional sejawatnya.
o.
Guru
tidak boleh mengoreksi tindakan-tindakan profesional sejawatnya atas dasar
pendapat siswa atau masyarakat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
p.
Guru
tidak boleh membuka rahasia pribadi sejawat kecuali untuk
pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilegalkan secara hukum.
q.
Guru
tidak boleh menciptakan kondisi atau bertindak yang langsung atau tidak
langsung akan memunculkan konflik dengan sejawat.
10. Hubungan Guru dengan Profesi
a.
Guru
menjunjung tinggi jabatan guru sebagai sebuah profesi.
b.
Guru berusaha
mengembangkan dan memajukan disiplin ilmu pendidikan dan
bidang studi yang diajarkan.
c.
Guru terus menerus meningkatkan
kompetensinya.
d.
Guru menjunjung tinggi tindakan
dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas profesional dan bertanggungjawab
atas konsekuensinya.
e.
Guru menerima tugas-tugas sebagai
suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam
tindakan-tindakan profesional lainnya.
f.
Guru tidak boleh melakukan tindakan
dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan martabat profesionalnya.
g.
Guru tidak boleh menerima janji,
pemberian, dan pujian yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan-tindakan
profesionalnya.
h.
Guru tidak boleh mengeluarkan
pendapat dengan maksud menghindari tugas-tugas dan tanggungjawab yang muncul
akibat kebijakan baru di bidang pendidikan dan pembelajaran.
11. Hubungan Guru dengan Organisasi Profesinya
a.
Guru menjadi anggota organisasi profesi
guru dan berperan serta secara aktif dalam melaksanakan program- program
organisasi bagi kepentingan kependidikan.
b.
Guru memantapkan dan memajukan
organisasi profesi guru yang memberikan manfaat bagi kepentingan kependidikan.
c.
Guru aktif mengembangkan
organisasi profesi guru agar menjadi pusat informasi dan komunikasi pendidikan
untuk kepentingan guru dan masyarakat.
d.
Guru menjunjung tinggi tindakan
dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas organisasi profesi dan
bertanggungjawab atas konsekuensinya.
e.
Guru menerima tugas-tugas
organisasi profesi sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual,
dan integritas dalam tindakan-tindakan profesional lainnya.
f.
Guru
tidak boleh melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang dapat merendahkan
martabat dan eksistensi organisasi profesinya.
g.
Guru
tidak boleh mengeluarkan pendapat dan bersaksi palsu untuk memperoleh
keuntungan pribadi dari organisasi profesinya.
h.
Guru
tidak boleh menyatakan keluar dari keanggotaan sebagai organisasi profesi tanpa
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
12. Hubungan Guru dengan
Pemerintah
a.
Guru memiliki komitmen kuat untuk
melaksanakan program pembangunan bidang pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam
UUD 1945, UU Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Tentang Guru dan
Dosen, dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
b.
Guru membantu program pemerintah
untuk mencerdaskan kehidupan yang berbudaya.
c.
Guru berusaha menciptakan,
memelihara dan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
d.
Guru tidak boleh menghindari
kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah atau satuan pendidikan untuk kemajuan
pendidikan dan pembelajaran.
e.
Guru tidak boleh melakukan
tindakan pribadi atau kedinasan yang berakibat pada kerugian negara.
13.
Pelaksanaan
a.
Guru dan organisasi profesi guru
bertanggungjawab atas pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia.
b.
Guru
dan organisasi guru berkewajiban mensosialisasikan Kode Etik Guru Indonesia
kepada rekan sejawat, penyelenggara pendidikan, masyarakat, dan pemerintah.
14.
Pelanggaran
a.
Pelanggaran adalah perilaku
menyimpang dan atau tidak melaksanakana Kode Etik Guru Indonesia dan ketentuan
perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan profesi guru.
b.
Guru yang melanggar Kode Etik Guru
Indonesia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
c.
Jenis
pelanggaran meliputi pelanggaran ringan, sedang, dan berat.
15.
Sanksi
a.
Pemberian rekomendasi sanksi
terhadap guru yang melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia
merupakan wewenang Dewan Kehormatan Guru Indonesia.
b.
Pemberian sanksi oleh Dewan
Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat a harus objektif,
tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi
profesi serta peraturan perundang-undangan.
c.
Rekomendasi Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat a wajib dilaksanakan oleh organisasi profesi guru.
d.
Sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat c merupakan upaya pembinaan kepada guru yang melakukan pelanggaran dan
untuk menjaga harkat dan martabat profesi guru.
e.
Siapapun yang mengetahui teläh
terjadi pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia wajib melapor kepada Dewan
Kehormatan Guru Indonesia, organisasi profesi guru, atau pejabat yang
berwenang.
f.
Setiap pelanggar dapat melakukan pembelaan
diri dengan/atau tanpa bantuan organisasi profesi guru dan/atau penasehat hukum
sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan dihadapan Dewan Kehormatan Guru
Indonesia.
16.
Ketentuan Tambahan
Tenaga
kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib
mematuhi Kode Etik Guru Indonesia dan peraturan perundang-undangan.
17.
Penutup
a.
Setiap guru secara sungguh-sungguh menghayati, mengamalkan, serta
menjunjung tinggi Kode Etik Guru Indonesia.
b.
Guru yang belum menjadi anggota organisasi
profesi guru harus memilih organisasi profesi guru yang pembentukannya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
c.
Dewan Kehormatan Guru Indonesia
menetapkan sanksi kepada guru yang telah secara nyata melanggar Kode Etik Guru
Indonesia.
B. DEWAN KEHORMATAN GURU INDONESIA
1. Pengertian
Menurut Ditjen
PMPTK dan PB PGRI yang dimaksud dengan :
a.
Dewan Kehormatan Guru Indonesia
(DKGI) adalah perangkat kelengkapan organisasi PGRI yang dibentuk untuk
menjalankan tugas dalam memberikan saran, pendapat, pertimbangan, penilaian,
penegakkan, dan pelanggaran disiplin organisasi dan etika profesi guru.
b.
Peraturan tentang Dewan Kehormatan
Guru Indonesia adalah pedoman pokok dalam mengelola Dewan Kehormatan Guru
Indonesia, dalam hal penyelenggaraan tugas dan wewenang bimbingan, pengawasan,
dan penilaian Kode Etik Guru Indonesia.
c.
Guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
d.
Tenaga kependidikan adalah anggota
masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan
pendidikan.
e.
Penyelenggara pendidikan adalah
pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan
formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan.
f.
Masyarakat adalah kelompok Warga
Negara Indonesia
non pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
g.
Kode Etik Guru Indonesia adalah
norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru sebagai pedoman sikap perilaku
dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan
warga negara.
h.
Penanganan dan pelanggaran Kode
Etik Guru Indonesia, adalah pedoman pokok dalam penanganan pelanggaran bagi
guru dan tenaga kependidikan lainnya terhadap etika guru yang telah ditetapkan.
2. Keorganisasian DKGI
Keorganisasian
Dewan Kehormatan Guru Indonesia merupakan peraturan atau pedoman pelaksanaan
yang dijabarkan dari Anggaran Dasar (AD) PGRI BAB XVII pasal 30, dan Anggaran
Rumah Tangga (ART) PGRI BAB XXVI pasal 92 tentang Status, Kedudukan, Tugas, dan
Wewenang dalam rangka penegakan disiplin Kode Etik Guru.
3. Tata Cara Pembentukan
a.
Dewan Kehormatan Guru Indonesia
berada di tingkat pusat, tingkat Provinsi, dan Kabupaten/kota, yang di bentuk
oleh badan pimpinan organisasi PGRI yang bersangkutan.
b.
Dewan Kehormatan Guru Indonesia
tingkat pusat di sebut sebagai DKGI pusat, pada tingkat Provinsi di sebut DGKI
Provinsi, dan pada Kabupaten/kota di sebut DKGI Kabupaten/kota.
c.
Pembentukan DKGI hanya dibenarkan
jika di daerah tersebut telah ada pengurus PGRI tingkat Provinsi dan
Kabupaten/kota: yang masing-masing disebut pengurus Provinsi dan
Kabupaten/kota.
d.
Pembentukan DKGI pusat dilakukan
oleh Konferensi pusat (Konpus) PGRI, sedangkan pembentukan di provinsi dan
Kabupaten/kota, masing-masing melalui Konferensi Kerja Provinsi dan atau
Kabupaten/kota.
e.
Untuk kepentingan pertimbangan
khusus dalam pengesahan organisasi DKGI dimaksud dari pengurus besar PGRI sebagaimana
dimaksud dalam ayat d diatas, pengurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota
harus mengirimkan informasi tentang:
1)
Data organisasi dan anggota secara
lengkap dan menyeluruh.
2)
Hal-hal lain yang berkaitan dengan urgensi pembentukan DKGI dimaksud.
4. Status
a.
Status DKGI adalah perangkat
kelengkapan organisasi PGRI, sehingga keputusannya merupakan keputusan pengurus
PGRI.
b.
Status DKGI Pusat maupun Provinsi
dan atau Kabupaten/Kota dalam organisasi PGRI adalah sebagai badan otonom,
dalam pengertian bahwa segala keputusannya yang diambil tidak bisa dipengaruhi
pengurus PGRI atau badan-badan yang lainnya.
c.
Untuk menjamin kenetralan sikap
dan keputusan yang akan ditetapkan maka penyelenggaraan tugas dan wewenangnya
harus dilakukan secara terpisah dari pengelolaan berbagai perangkat kelengkapan
organisasi PGRI lainnya.
d.
Pengelolaan tugas dan wewenang
DKGI harus terpisah dari tugas dan wewenang Pengurus Besar PGRI dan begitupun
selanjutnya sampai ke Provinsi dan atau Kabupaten/Kota.
5. Kedudukan
a.
Kedudukan DKGI pusat berada di
tempat kedudukan Pengurus Besar PGRI dan begitupun di tingkat Provinsi dan atau
Kabupaten/kota.
b.
Wilayah kerja DKGI adalah wilayah
kerja organisasi PGRI yang setingkat dengan tingkatan dari organisasi PGRI di
maksud.
c.
Apabila pengurus PGRI Provinsi
belum terbentuk dan karena itu DKGI belum bisa terbentuk maka tugas kerja
daerah tersebut dijabat oleh pengurus daerah PGRI terdekat, begitupun dengan
PGRI Kabupaten/kota.
d.
Fungsi dan tugas DKGI di tingkat
Cabang dan Ranting PGRI menjadi tanggung jawab Pengurus PGRI Kabupaten/kota.
e.
Pelimpahan tugas sebagaimana
disebut dalam butir c di atas ditetapkan melalui Surat Keputusan pengurus Besar
PGRI khusus untuk PGRI Provinsi, dan dari pengurus PGRI Provinsi untuk PGRI
Kabupaten/kota.
6. Susunan Pengurus
a.
Susunan keanggotaan DKGI terdiri
dari unsur Dewan Penasihat, Badan Pimpinan Organisasi, Himpunan Profesi dan
Keahlian Sejenis, dan yang lainnya sesuai dengan keperluan.
b.
Susunan pengurus DKGI
sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang
sekretaris, seorang bendahara, dan 5 anggota dengan jumlah seluruhnya paling
banyak 10 orang untuk pusat, dan sebanyak-banyaknya 7 orang untuk daerah.
c.
Susunan anggota DKGI terdiri dari
unsur Dewan Penasihat, Badan Pimpinan Organisasi, Himpunan Profesi dan keahlian
sejenis dan yang lainnya yang terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda baik
profesi maupun pengalamannya misalnya pendidikan, kebudayaan, kemasyarakatan
dan lain nya.
d.
Jika diperlukan maka Keanggotaan
DKGI bisa saja ditambah sebanyak 3 orang anggota tidak tetap, yang
penunjukkannya atas dasar keperluan terhadap keahlian tertentu sesuai dengan
kasus atau permasalahan yang ditangani.
e.
Selama menangani masalah, maka
anggota DKGI tidak tetap sebagaimana ayat (d) di atas pada dasarnya memiliki
hak dan kewajiban yang sama dengan anggota tetap lainnya.
f.
Masa jabatan anggota DKGI tidak
tetap segera berakhir apabila masalah yang ditangani sudah selesai berdasarkan
berbagai sisi norma dan ketentuan yang ada.
7.
Tata Cara Penyusunan Pengurus dan Anggota
a.
Ketua
DKGI Pusat dipilih melalui Konferensi Pusat PGRI, dan ketua di Provinsi dan
atau Kabupaten/Kota melalui Konferensi Kerja PGRI Provinsi dan atau
Kabupaten/kota.
b.
Ketua
DKGI terpilih selaku formatur tunggal dan atas dasar masukan dari pengurus PGRI
berkewajiban untuk segera menunjuk, mengangkat dan menetapkan sekretaris,
bendahara dan anggota secara lengkap.
c.
Sebelum
DKGI menjalankan fungsi dan tugasnya maka ketua DKGI memberitahukan terlebih
dahulu kepada pengurus PGRI tentang susunan pengurus secara resmi dan lengkap.
d.
Penunjukkan,
pengangkatan dan pengesahan anggota DKGI tidak tetap dilakukan oleh ketua DKGI
atas musyawarah dengan pengurus dan konsultasi dengan pengurus PGRI.
e.
Apabila
salah seorang anggota DKGI meninggal dunia atau mengundurkan diri atau karena
suatu hal diberhentikan sebagai anggota maka penggantiannya dilakukan oleh
ketua DKGI atas musyawarah seperti ayat tersebut di atas.
f.
Pemberhentian
terhadap anggota DKGI hanya dilakukan apabila yang bersangkutan dinilai
melanggar aturan yang ditentukan dan tidak lagi sesuai dengan syarat-syarat
sebagai pengurus atau anggota DKGI.
8.
Syarat-Syarat Pengurus dan Anggota
Syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh seseorang untuk dapat dipilih,
diangkat, atau ditunjuk menjadi pengurus atau anggota DKGI adalah guru dan
tenaga kependidikan lainnya yang di yakini:
a.
Beriman
dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b.
Berjiwa
nasionalisme yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
c.
Memiliki kepribadian yang dapat
diterima dan disegani serta memiliki kredibilitas profesi kependidikan yang
cukup tinggi.
d.
Loyalitas yang tinggi terhadap
organisasi PGRI, peka terhadap perkembangan permasalahan yang muncul di
lingkungan kependidikan dan maupun kemasyarakatan.
e.
Menguasai masalah kependidikan,
guru dan tenaga kependidikan.
f.
Bersih,
jujur, adil, sabar, terbuka dan berwibawa.
9.
Masa Jabatan Pengurus
a.
Masa jabatan kepengurusan DKGI
sama dengan masa jabatan pengurus PGRI yaitu selama 5 tahun.
b.
Masa jabatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat satu di atas segera berlaku setelah adanya pengesahan secara
keorganisasian dari Pengurus Besar PGRI, dan pengesahan kepengurusan dari
Pengurus PGRI yang ada pada daerah tersebut.
10.
Tugas dan Wewenang
Sesuai dengan AD PGRI BAB
XVII pasal 30 ayat 2, dan ART PGRI BAB XXVI pasal 92, maka tugas dan fungsi
DKGI adalah:
a.
Memberikan saran, pendapat, dan
pertimbangan tentang pelaksanaan, penegakan, pelanggaran disiplin organisasi
dan Kode Etik Guru Indonesia Indonesia kepada Badan Pimpinan organisasi yang
membentuknya tentang:
1)
Pelaksanaan bimbingan, pengawasan,
penilaian dalam pelaksanaan disiplin organisasi serta Kode Etik Guru Indonesia.
2)
Pelaksanaan, penegakan, dan
pelanggaran disiplin organisasi yang terjadi di wilayah kewenangannya.
3)
Pelanggaran Kode Etik Guru
Indonesia yang dilakukan baik oleh pengurus maupun oleh anggota serta saran dan
pendapat tentang tindakan yang selayaknya dijatuhkan terhadap pelanggaran kode
etik tersebut.
4)
Pelaksanaan dan cara penegakan
disiplin organisasi dan Kode Etik Guru Indonesia.
5)
Pembinaan
hubungan dengan mitra organisasi di bidang penegakan serta pelanggaran disiplin
organisasi serta Kode Etik Guru.
b.
Pelaksanaan
tugas bimbingan, pembinaan, penegakan disipin, hubungan dan pelaksanaan Kode
Etik Guru Indonesia sebagaiamana ayat-ayat di atas dilakukan bersama pengurus
PGRI di segenap perangkat serta jajaran di semua tingkatan.
c.
Pelaksanaan
tugas penilaian dan pengawasan pelaksanaan kode etik profesi sebagaimana
ayat-ayat di atas dilakukan melalui masing-masing DKGI di semua tingkatan
organisasi.
11. Pertanggung Jawaban
DKGI
Pusat bertanggung jawab kepada Pengurus Besar PGRI melalui Kongres dan Konpus
PGRI; DKGI PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota bertanggung jawab kepada
Pengurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota melalui Konprov/Konkerprov dan
Konkab/Konkot dan atau Konkerkab /Kot di Provinsi dan atau di Kabupaten/kota.
12. Ketentuan Persidangan
DKGI
pada waktu melaksanakan tugas dan fungsinya terutama tugas penilaian dan
pengawasan perlu menyelenggarakan persidangan-persidangan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a.
Pelaksanaan persidangan DKGI akan
dianggap sah apabila dihadiri lebih dari satu per dua dari jumlah anggota.
b.
Waktu dan jumlah persidangan
tergantung kebutuhan, dan hasil dari seluruh persidangan akan menjadi laporan
pertanggungjawaban satu tahun satu kali dalam forum organisasi yang disebut
Konpus, konkerprov dan atau Konkerkab/kot PGRI, dan lima tahun sekali dalam forum Kongres dan
atau Konkab/kot PGRI.
c.
DKGI dalam melaksanakan
persidangan harus bersifat tertutup, kecuali apabila dikehendaki lain, dan
ditentukan seluruhnya oleh DKGI itu sendiri.
d.
Ketua DKGI menjadi pimpinan
sidang, dan apabila berhalangan hadir maka penggantinya adalah wakil ketua, dan
apabila masih juga berhalangan maka persidangan sementara ditunda.
e.
Sekretaris bertanggung jawab atas
seluruh pencatatan dan pelaporan hasil sidang, apabila sekretaris berhalangan
bisa digantikan oleh anggota yang ditunjuk pimpinan sidang yang disepakati
anggota yang lainnya.
13. Keputusan Persidanganan
a.
Keputusan diambil atas dasar
musyawarah dan mufakat; dan apabila tidak tercapai maka pengambilan keputusan
diambil atas dasar perhitungan suara terbanyak.
b.
Perhitungan suara dilakukan secara
bebas dan rahasia dari setiap anggota yang memiliki hak bicara atau hak suara.
c.
Keputusan yang diambil harus
diteruskan ke Pengurus PGRI yang setingkat untuk segera ditindaklanjuti
seperlunya.
14. Garis Hubungan Kerja
a.
Garis hubungan kerja antara DKGI
pusat dengan Provinsi dan atau Kabupaten/Kota adalah bersifat konsultatif,
pelaporan maupun pelimpahan wewenang penanganan masalah kasus pelanggaran Kode
Etik Guru Indonesia.
b.
Garis hubungan kerja DKGI dengan
pengurus PB PGRI dan atau Pengurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota
didasarkan bahwa DKGI adalah kelengkapan perangkat organisasi otonom yang
dibanggakan.
c.
Keputusan DKGI harus menjadi
keputusan Pengurus PGRI, dan Pengurus PGRI harus melaksanakan keputusan DKGI
yang setingkat dengan pengurus PGRI.
d.
Apabila DKGI mengadakan garis
hubungan kerja dengan pengurus PGRI yang lebih tinggi tingkatannya maka harus
melalui pengurus PGRI yang setingkat dengan DKGI tersebut.
15. Administrasi dan Pendanaan
a.
Administrasi DKGI dikelola oleh
sekretaris, dan tatalaksana perkantoran berpedoman/mengikuti dan ditunjang oleh
pengurus PGRI.
b.
Pengelola sekretariat DKGI harus
bertanggung jawab atas jaminan kerahasiaan seluruh berkas-berkas persidangan
dan yang lainnya.
c.
Pendanaan yang dibutuhkan untuk
kelancaran dalam menjalankan fungsi dan tugas DKGI menjadi tanggung jawab
pengurus PGRI.
16. Pembinaan Dan Pemasyarakatan
a.
Tujuan
Meningkatkan mutu
pengabdian profesi guru dan dan tenaga kependidikan lainnya dalam mempercepat
tercapainya tujuan pembangunan nasional, khususnya program pembangunan
pendidikan, dengan jalan:
1)
Meningkatkan pemasyarakatan Kode
Etik Guru Indonesia terhadap seluruh guru dan tenaga kependidikan lainnya serta
masyarakat secara umum.
2)
Meningkatkan perilaku guru dan
tenaga kependidikan lainnya dalam pemahaman, penghayatan, dan pengamalan etika
guru demi terciptanya proses pengabdian profesi kependidikan yang lebih baik.
3)
Menciptakan suasana masyarakat
yang lebih kondusif, sehingga akan lebih menguntungkan dalam proses pengabdian
dan penerapan etika guru.
b.
Sasaran yang Ingin dicapai
Sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan dalam pasal 17 di atas, maka sasaran dari pembinaan dan
pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai berikut:
1)
Guru dan tenaga kependidikan
lainnya dapat menjalankan pengabdian khususnya di bidang pendidikan dengan
baik.
2)
Terjadinya pemahaman tentang etika
guru bagi calon guru dan tenaga kependidikan lainnya yang berada di lembaga
kependidikan.
3)
Tumbuhnya pengakuan dari
pemerintah dan masyarakat secara luas akan pengabdian profesi kependidikan dan
Kode Etik Guru Indonesia.
c.
Jenis Kegiatan
1)
Menganjurkan kepada pemerintah dan
swasta penyelenggra pendidikan untuk memasukkan materi Kode Etik Guru Indonesia
khususnya di lembaga kependidikan.
2)
Menyelenggarakan berbagai
pertemuan profesional secara individual kelompok maupun klasikal dalam membahas
dan mengkaji berbagai aspek Etika Guru.
3)
Menyebarluaskan informasi secara
tertulis melalui majalah suara guru dan yang lainnya tentang Kode Etik Guru
Indonesia terhadap calon guru dan guru serta tenaga kependidikan lainnya.
4)
Menyelenggarakan berbagai kegiatan
lainnya yang dinilai tidak mengikat dan dapat mencapai pemasyarakatan dan
pembinaan Kode Etik Guru Indonesia baik di lingkungan kependidikan maupun di
pemerintahan dan masyarakat.
d.
Materi Pemasyarakatan dan Pembinaan
1)
Kode Etik Guru Indonesia .
2)
Lapal
pengucapan janji dan sumpah guru dan tenaga kependidikan lainnya.
3)
Hukum,
aturan dan ketentuan yang ada kaitannya dengan kependidikan.
4)
Status guru.
5)
Materi-materi lain yang dapat
dinilai menunjang terhadap tercapainya permasyarakatan dan pembinaan Kode Etik
Guru Indonesia
e.
Pelaksanaan Kegiatan
1)
Kegiatan pemasyarakatan dan
pembinaan Kode Etik Guru Indonesia dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Guru,
dengan jalan bahwa pengurus pusat bertanggung jawab untuk menetapkan
garis-garis besar pemasyarakatan dan pembinaan (GBPP) untuk dijabarkan dan
dikoordinasikan pelaksanaannya di daerah.
2)
Dalam melaksanakan pemasyarakatan
dan pembinaan seperti ayat satu di atas, maka Dewan Kehormatan Guru dapat
bekerja sama dengan pengurus PGRI, mitra pendidikan, dan instansi pemerintah
dan kemasyarakatan lainnya, yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Pengurus
PGRI.
17.
Penanganan Pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia
a.
Tujuan
1)
Memecahkan berbagai masalah
pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia baik berasal dari komponen
pemerintah, masyarakat, atau guru dan tenaga kependidikan lainnya.
2)
Menegakkan kebenaran dan keadilan
bagi seluruh guru dan tenaga kependidikan lainnya sebagai pelaksanaan
pengabdian profesi guru dan tenaga kependidikan lainnya; serta bagi seluruh
komponen masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan kependidikan.
b.
Sasaran yang ingin dicapai
1)
Menangani berbagai perilaku yang
menyimpang dari Kode Etik Guru Indonesia yang dilakukan oleh guru dan tenaga
kependidikan lainnya sewaktu melaksanakan pengabdian profesi kependidikan.
2)
Penanganan penyimpangan seperti
dimaksud dalam ayat satu di atas baru dapat dilakukan apabila terjadi
pengaduan, ada permintaan dari Pengurus PGRI dan atau DKGI menduga terjadi
adanya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia .
c.
Proses Pengaduan
1)
Para pihak yang menemukan terjadinya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru
Indonesia dapat mengajukan melalui surat
pengaduan kepada DKGI tempat terjadinya masalah tersebut.
2)
Apabila di daerah kejadian
tersebut belum ada DKGI Kab/Kota maka surat
pengaduan diajukan ke DKGI Provinsi, dan apabila juga belum ada, maka bisa
diajukan ke DKGI Pusat.
3)
Surat pengajuan pengaduan
dianggap sah apabila diajukan secara tertulis dan dilengkapi dengan berbagai
identitas pengaduan yang diajukan dan bukti-bukti yang memperkuat dan menunjang
terhadap pengaduan yang diajukan tersebut.
4)
Surat pengajuan pengaduan
dianggap tidak sah apabila diajukan tidak dilengkapi/disertai dengan
bukti-bukti yang cukup, dan identitas yang selayaknya dijelaskan, serta waktu
kejadian tersebut sudah melewati waktu dua setengah tahun atau lebih.
5)
Apabila surat pengaduan pertama
kali bukan diterima oleh pengurus DKGI Provinsi dan atau Kabupaten/kota, maka
paling lambat dua minggu setelah diterimanya surat pengaduan tersebut harus
segera diteruskan kepada DKGI Kabupaten/kota dimana terjadinya kejadian
tersebut diajukan.
6)
Apabila DKGI dimana terjadinya
kejadian pengajuan belum terbentuk, maka surat pengaduan sebagaimana ayat 5 di
atas harus diteruskan kepada DKGI PGRI Provinsi, begitupun bagi DKGI PGRI
Provinsi yang belum terbentuk, maka pengajuannya harus diteruskan kepada DKGI Pusat.
d.
Pengkajian
1)
Setiap pengajuan yang diajukan
karena pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia harus dikaji terlebih
dahulu secara berhati-hati dan seksama dengan prinsip penanganan berdasarkan azas
praduga tak bersalah.
2)
Kegiatan pengkajian sebagaimana
ayat satu di atas untuk tahap pertama menjadi tugas dan wewenang pengurus DKGI
PGRI Kabupaten/kota dengan langkah-langkah kegiatan sebagai berikut:
a).
Mempelajari identitas pengaduan
yang diajukan.
b).
Mempelajari berkas-berkas sebagai
bukti tertulis yang diajukan.
c).
Mengambil
kesimpulan sementara absah dan tidaknya surat pengaduan tersebut.
d).
Mempelajari
masalah lebih dalam dan luas lagi, dengan cara:
(1)
Mengundang
pengadu dan yang diadukan secara terpisah untuk sama-sama melengkapi dan
memberi penjelasan tentang duduk permasalahan sebenarnya.
(2)
Mengundang
saksi dari para pihak secara terpisah apabila ada dan diajukan untuk sama-sama
meminta informasi dalam memperjelas masalah yang diajukan.
(3)
Melakukan
kunjungan ke tempat terjadinya kejadian untuk memperoleh keterangan yang lebih
jelas dan akurat, ataupun hubungannya dengan benda-benda atau barang-barang
bukti yang sifatnya tidak bisa dipindahkan.
(4)
Apabila
diperlukan maka diperbolehkan mengundang pihak-pihak tertentu yang sesuai
dengan masalah yang diajukan untuk dijadikan saksi ahli.
e).
Melakukan
sidang DKGI secara lengkap untuk bermusyawarah dalam menentukan persiapan
sidang sidang selanjutnya.
e.
Barang Bukti
1)
Pada waktu pemanggilan saksi dan
kunjungan-kunjungan ke tempat kejadian, maka pada waktu itu pula dapat
dimintakan untuk memperlihatkan berbagai barang bukti, dan jika diperlukan
diminta persetujuan untuk membuat rekaman suara dan atau gambar.
2)
Apabila pengadu dan teradu serta
saksi menolak memperlihatkan barang bukti dan pengambilan suara dan gambar
sebagaimana ayat 1 (satu) di atas, maka hal ini dapat dicatat untuk dijadikan
bahan pertimbangan pada waktu pengambilan keputusan.
3)
DKGI tidak berwenang melakukan
penyitaan terhadap barang-barang bukti yang diajukan melainkan bisa melalui pihak-pihak
yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
f.
Kegiatan Pembelaan
1)
Pada waktu proses pengkajian dan
sidang-sidang maka pihak teradu memiliki hak untuk didampingi oleh pembela.
2)
Yang dimaksud pembela adalah
Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) PGRI.
3)
Hak yang dimiliki tersebut harus
terlebih dahulu dikemukakan jauh sebelum sidang dimulai.
4)
Mengingat sifat kejadian yang
ditangani menyangkut etika guru sangat khusus dan lebih pelik, maka dibenarkan
dan berhak untuk didampingi pembela dari luar dapat dipertimbangkan, apabila
yang dimintakan teradu adalah pembela berasal dari luar LKBH PGRI.
g.
Penunjukan Saksi Ahli
1)
Apabila dalam penanganan kejadian
pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia dimaksud diperlukan adanya saksi ahli,
maka dapat dimintai kehadirannya dalam setiap sidang dalam forum DKGI.
2)
Penunjukan saksi ahli menjadi wewenang
sepenuhnya dari DKGI.
3)
Saksi ahli tahap pertama harus
diambil dari lingkungan organisasi PGRI beserta seluruh kelengkapan perangkat
organisasi, namun apabila tidak ada maka dapat diminta di luar organisasi PGRI.
h.
Kegiatan Persidangan
1)
Tata cara persidangan DKGI di
daerah harus sesuai dengan tata cara yang ditentukan DKGI pusat; (tata cara ini
akan diminta penjelasan dari ketua LKBH PB PGRI).
2)
Apabila teradu menginginkan
bantuan dan memanfaatkan jasa dari LKBH PGRI maka LKBH PGRI tersebut harus memberitahukan
kepada LKBH PGRI Propvinsi dan LKBH PGRI Pusat.
3)
Apabila pengkajian telah selesai
dilakukan maka sebelum diambil keputusan hendaknya LKBH PGRI diberikan
kesempatan mengemukakan pendapatnya tentang kejadian yang sedang di kaji.
i.
Pengambilan Keputusan
1)
Tata cara pengambilan keputusan
dalam sidang-sidang DKGI Provinsi dan atau Kabupaten/Kota harus sesuai dengan
yang ditentukan DKGI pusat; (ketentuan hal ini akan minta penjelasan dari ketua
LKBH PB PGRI).
2)
Keputusan yang diambil oleh DKGI
dalam penanganan pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia harus menyatakan dengan
jelas bersalah atau tidak bersalah bagi teradu.
3)
Keputusan sebagaimana ayat dua di
atas harus dibedakan antara kesalahan ringan, sedang, dan berat.
4)
Penetapan kategori kesalahan
hendaknya didasarkan kepada kriteria sebagai berikut:
a).
Akibat yang ditimbulkan terhadap
kehormatan profesi; keselamatan guru dan tenaga kependidikan lainnya.
b).
Itikad yang ditunjukan cukup baik
pihak teradu dalam membantu menyelesaikan persoalan dimaksud; serta dorongan yang
mendasari tumbuhnya kejadian yang bisa dipertimbangkan.
c).
Kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi
tumbuhnya kejadian; serta pendapat dan pandangan LKBH PGRI.
5)
Apabila kejadian yang dimaksud
menyangkut pelanggaran hukum dan masalah tersebut sedang dalam proses hukum,
maka hendaknya keputusan DKGI ditunda sampai dengan keputusan hukum tersebut.
6)
DKGI harus mampu mencegah
tumbuhnya proses hukum di pengadilan dengan upaya persidangan di DKGI tersebut.
j.
Pemberian Sanksi
1)
DKGI merekomendasikan pemberian
sanksi kepada badan pimpinan organisasi PGRI yang setingkat dengan DKGI dan
diteruskan kepada PB PGRI untuk disampaikan kepada instansi pemerintah dan
penyelenggara pendidikan yang terkait.
2)
Dalam hal sanksi yang langsung
berhubungan dengan keanggotaan pada PGRI, maka PB PGRI dapat mencabut keanggotaan
guru atau tenaga kependidikan tersebut bila DKGI memutuskan demikian.
3)
Sanksi
yang diberikan akan tergantung kepada berat dan ringannya kesalahan yang
dilakukan oleh pihak tertentu.
4)
Sanksi
yang diberikan bisa berupa : (1) teguran; (2) peringatan tertulis; (3)
penundaan pemberian hak; (4) penurunan pangkat; dan (5) pemberhentian dengan
hormat; atau (6) pemberhentian dengan tidak hormat.
5)
Kalau
keputusan oleh Instansi terkait berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak
hormat maksudnya adalah dalam waktu sementara melalui waktu yang telah
ditentukan, dan pada masa ini diadakannya pembinaan dari pihak DKGI.
6)
Apabila
selama waktu pemberhentian sementara, tidak terjadi perbaikan-perbaikan, maka
akan ditetapkan pemecatan dan
pemberhentian dari anggota/ pengurus PGRI, yang diikuti dengan penyampaian
rekomendasi kepada Instansi Departemen Pendidikan Nasional untuk diadakan
tindakan seperlunya.
7)
Keputusan
tentang pemecatan dan pemberhentian tetap dikirimkan kepada pengurus PGRI/DKGI
PGRI Provinsi maupun PB PGRI.
k.
Banding
1)
Apabila kedua belah pihak antara
pengadu dan teradu merasa tidak puas atas keputusan yang telah ditetapkan DKGI,
maka keduanya bisa menyatakan untuk mengajukan naik banding.
2)
Naik banding sebagaimana ayat satu
di atas merupakan tahap awal yang harus ditujukan kepada DKGI PGRI Provinsi,
begitu pula selanjutnya bisa naik banding tahap yang kedua yang ditujukan ke
tingkat DKGI Pusat.
3)
Tata cara pengakajian dan
pengambilan keputusan pada pelaksanaan sidang-sidang pada dasarnya sama antara DKGI
PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/Kota dengan di pusat.
4)
Keputusan yang diambil DKGI Pusat
pada dasarnya merupakan keputusan final dan mengikat yang tidak bisa diganggu
gugat, kecuali datangnya keputusan lain melalui Kongres PGRI.
l.
Perbaikan dan Pemulihan
1)
Perbaikan dan pemulihan akan
dilakukan apabila ternyata penerima sanksi dinyatakan tidak bersalah; atau
telah menjalani sanksinya sesuai keputusan DKGI.
2)
Bagi pihak penerima sanksi
sebagaimana ayat 1 (satu) di atas akan segera dikeluarkan pernyataan perbaikan
dan pemulihan yang disertai permintaan maaf kepada penerima sanksi tersebut.
3)
Surat pernyataan
perbaikan dan pemulihan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di atas disampaikan
kepada penerima sanksi, instansi tempat bekerja, serta kepada masyarakat secara
umum.
4)
Penerbitan surat keputusan perbaikan dan pemulihan
dilakukan oleh Pengurus PGRI dimana masalah tersebut ditangani dengan tembusan
kepada pengurus PGRI yang lebih tinggi dan yang dibawahnya termasuk pula kepada
DKGI yang bersangkutan.
m.
Administrasi
1)
Setiap surat pengaduan dan identitas pengadu
diperlakukan sebagai surat
rahasia dan jika dianggap perlu untuk dirahasiakan.
2)
Pemanggilan
terhadap pengadu, teradu, dan saksi harus dilakukan secara tertulis dan paling
banyak 3 kali pemanggilan.
3)
Apabila
pemanggilan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di atas ada yang tidak datang dan
tanpa alasan yang sah, maka penanganan masalah tersebut harus dilanjutkan tanpa
kehadirannya.
4)
Dalam
hal minta keterangan terhadap pengadu, teradu, dan saksi oleh DKGI tidak diawali
dengan pengambilan sumpah, akan tetapi hanya dengan surat pernyataan.
5)
Surat
pernyataan dimaksudkan secara tertulis yang dibuat dan ditandatangani di atas
materai yang cukup di depan DKGI yang berisi bahwa keterangan yang akan
diberikan adalah benar.
6)
Apabila
pihak-pihak tersebut sebagaimana ayat 4 (empat) di atas tidak bersedia atau
menolak membuat atau menandatangani surat pernyataan dimaksud, maka akan
menjadi catatan khusus sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan keputusan.
7)
Semua
keterangan, barang bukti dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan
sidang-sidang DKGI harus dibukukan dan didokumentasikan secara lengkap dan
sempurna serta menjadi milik PGRI. Data-data tersebut sangat tidak dibenarkan
untuk diketahui oleh pihak ketiga atau pihak lain, kecuali dinyatakan lain oleh
ketentuan perundang-undangan dan diminta oleh Negara.